Sekilas Tentang Resensi dan Kritik Sastra
Saya ingin berbagi sedikit yang tahu
tentag resensi dan kritik sastra. Ini bulan bahasa dan saat tepat membahas
karya sastra. Terlebih setelah Kompasiana hangat memperbincangkan kanal fiksi.
Oh ya, apa itu resensi ? Resensi, mudahnya, adalah ulasan mengenai sesuatu
semisal film atau buku. Resensi sangat penting di mata saya sebab menjadi
bahan pertimbangan tentang mutu sebuah karya. Semisal kalau ingin menonton film
di bioskop atau membeli novel di toko buku saya bisa mencari ulasannya di
majalah atau koran. Kadang meski tak mampu beli saya dapat mengetahui sekilas
tentang sebuah buku atau film melalui penilaiannya di majalah atau koran.
Sementara kritik sastra menurut saya
adalah penjelasan lebih lengkap terkait sebuah buku. Jika resensi lebih
mengutamakan hal-hal positif atau kelebihan sebuah buku maka kritik sastra
menjelaskan secara seimbang. setahu saya di Indonesia baru ada satu lomba
kritik sastra skala nasional. Resensi buku atau novel juga belum umum selain
menjadi pengisi kolom media cetak. Padahal resensi dan kritik sastra sangat
penting lho. Selain menjadi tolak ukur karya seseorang di mata konsumen–para
pembeli–juga membuat kita tahu seberapa besar kemajuan karya sastra dalam
negeri.
Di sekolah-sekolah memang ada tugas
membuat resensi. Namun sebagian besar anak mengeluh betapa sulitnya menilai
sebuah buku. Kenapa? Bukankah mereka terbiasa membaca dan mereka tinggal
membeberkan pendapat mereka tentang buku tersebut. Ternyata itu masih belum
cukup. Meskipun membaca, anak yang merasa membuat resensi adalah “siksaan”
kurang paham dari segi apa melihat sebuah buku. Entah karena guru kurang
lengkap memberi contoh atau anak kurang percaya diri.
Jika resensi boleh jadi selesai
dalam hitungan selembar dua lembar kertas maka kritik sastra berbentuk bukunya,
mungkin bisa menyaingi tebal buku itu sendiri. Kritik sastra menjadi sesuatu
yang asing di telinga saya. Selain bekal pengetahuan super tinggi di bidang
sastra, saya juga belum tahu bagaimana cara meluncurkan sebuah kritik sastra.
Mata pelajaran bahasa di SMA belum pernah menyinggung hal-hal yang berkaitan
dengan kritik sastra. Sementara resensi lebih mudah dibuat–bukan berarti
resensi isinya serampangan saja–tak perlu menjadi akademisi tapi jeli. Membuat
resensi adalah hobi menarik setahun belakangan sejak saya diperkenalkan oleh
guru saya, Pak Tateng Gunadi. Belajar meresensi menjadika kita tak sekedar
mengatakan bagus tidaknya sebuah karya dari sekedar menarik tidaknya kisah di
dalamnya.
Kalau resensi lebih untuk
merekomedasikan sebuah buku agar layak beli. Keindahan kata menjadi daya jual
ampuh. Bagai penjual kita mengungkap apa yang menarik dari buku A atau B.
Kadang memang calon penikmatbuku sepenuhnya terpengaruh terhadap hasil resensi.
Tapi ada baiknya kita mencari tahu info pembanding buku tersebut.
Apa saja kriteria meresensi? Pertama
kita perlu menuliskan singkat ringkasan buku, cukup satu paragraf. Diutamakan
kelebihan dan kekurangan buku. Dalam lomba tingkat SMA biasanya yang diminta
kelebihan sebanyak-banyaknya dan kekurangan cukup satu dua buah. Kita boleh
membandingkan buku itu dengan buku lain yang memiliki tema sejenis atau karya
lainnya penulis tersebut. Apa manfaatnya, segmen pembaca, layak tidaknya
dikoleksi, dan lainnya. Jangan lupa tentang EYD. Tak hanya melihat tata bahasa,
sebuah resensi perlu mengulas tema (ikut arus pasar atau berbeda), karakter
tokoh-tokohnya, setting cerita, kedetailan, sudut pandang, konflik, penyampaian
amanat, gaya menulis dan masih banyak lagi.
Buku yang laku atau bagus di pasaran
tak selalu mendapat tanggapan bagus dari apresiator baik melalui resensi
ataupun kritik sastra. Semisal karya Kang Abik, “Ketika Cinta Bertasbih”,
menurut saya memiliki kelemahan soal karakternya yang dibangun terlalu sempura,
terlalu menegaskan hitam dan putih. Nampak tidak manusiawi. Namun kelebihan
muncul dari segi tema cinta berbalut agama–terbukti laris manis pula filmnya.
Dari segi sudut pandang layak mendapat acungan jempol adalah “Para Priyayi”-nya
Umar Kayam dan “The Witch From Portobello”-nya Paulo Coelho–bagaimana cerita
menjadi jalian kisah yang berjalan melalui alam pikiran tiap tokoh–menjadi
inspirasi saya dalam menulis, kisah dikisahkan masing-masing tokoh.
Sangat menarik mengetahui betapa
luasnya isi sebuah cerita dalam sebuah buku–novel, kumpulan cerpen, antologi
puisi–pencapaian seorang penulis tak sekedar rumitnya diksi yang kurang
dipahami sebagian pembaca. Perlu juga melirik kekuatan karakter dan konflik
dibangun, apakah maha sempurna baik ya baik jahat selalu jahat, kisah cinta
harus romantis dan berakhir bahagia, mudah ditebak atau tidak alurnya. Yuk
belajar meresensi atau membuat kritik sastra! Siapa tahu ada Kompasianer yang
bisa mnegajari. Mumpung pas waktunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar